Depresi pada Hewan dan Tanda-Tandanya
Hewan peliharaan tak hanya membuat kehidupan di rumah menjadi makin menyenangkan dan makin ramai saja. Lebih jauh, memiliki hewan peliharaan kesayangan juga akan membantu kita menjadi pribadi yang sabar, peduli serta tenang. Keberadaan hewan peliharaan baik itu anjing, kucing, burung, ikan atau hewan reptil (bisa ular, tokek, iguana dll) tentu akan membuat kita semakin bahagia. Saat sedih, kita bisa curhat dengan mereka. Dan saat senang, kita juga bisa kembali curhat dengan mereka.
Berbicara soal hewan peliharaan, penelitian terbaru mengungkapkan bahwa beberapa hewan peliharaan akan rentan mengalami depresi dan perasaan tertekan. Sama halnya dengan manusia, hewan juga bisa mengalami stres
Pada dasarnya, depresi pada manusia bisa terdiagnosis secara subjektif. Gejala umum dari diagnosisnya bisa berupa perasaan bersalah, tidak bahagia hingga berpikir untuk mati (bunuh diri).
Banyak saintis yang percaya bahwa hewan juga dapat mengalami depresi, tetapi karena hewan tidak bisa berkomunikasi seperti layaknya manusia, maka seringkali agak sulit untuk mendiagnosis depresi yang mereka sedang alami. Sebagai gantinya, para saintis melakukan pengamatan yang mendalam mengenai perilaku serta suasana hati dari si hewan tersebut.
Salah satu gejala utama depresi adalah anhedonia yang merupakan suatu kondisi di mana mahkluk hidup mengalami kehilangan minat terhadap kegiatan yang dahulu disukai/menyenangkan baginya dan terjadi penurunan kemampuan untuk merasakan kesenangan. Para saintis biasanya mencari anhedonia pada hewan untuk menemukan pola depresi dengan mengukur tingkat ketertarikan pada makanan yang mereka sukai, dorongan seks, perubahan pola tidur hingga tingkat sosialisasi hewan tersebut dengan sekitarnya.
Oliver Berton seorang asisten profesor ilmu saraf di Universitas Pennsylvania, mengulas studi mengenai tikus, primata dan ikan yang mengalami penurunan ketertarikan untuk hidup. Studinya pada tikus mengindikasikan bahwa tikus yang dikeluarkan dari kelompok sosialnya atau dipaksa hidup dengan hewan yang lebih besar dari si tikus, maka si tikus tersebut akan cenderung mengalami depresi. Mengapa? Karena habit dari tikus itu sendiri adalah suka bergerak ke sana dan kemari secara bebas tikus yang mengalami depresi sudah tidak peduli dengan hal tersebut.
Depresi pada hewan juga didukung oleh sebuah fakta bahwa anjing binatang peliharaan paling populer di dunia dan manusia sebenarnya memiliki struktur otak yang sama, yang secara sains mengindikasi bahwa tidak ada alasan untuk percaya bahwa anjing tidak dapat mengalami depresi.
Manusia yang mengalami depresi sering diberi obat antidepressant. Pada tahun 1981, seorang dokter hewan muda bernama Nicholas Dodman melakukan hal sama pada seekor hewan yang mengalami gejala-gejala kecenderungan depresi, dan hasilnya obat tersebut memberi efek bagi perkembangan suasana hati hewan tersebut.
Perlahan-lahan, para dokter hewan pun mulai sadar, dan pabrik-pabrik obat pun akhirnya banyak memproduksi obat antidepressant yang dibuat khusus untuk anjing.
Walaupun banyak dokter hewan yang sudah mengklaim bahwa hewan juga bisa mengalami depresi, tapi para saintis lebih memilih untuk belum terlalu percaya dengan klaim tersebut sebelum dilakukan studi ekstensif lanjutan.
Tanda-tanda depresi pada hewan
Penelitian ini mengungkapkan jika hewan yang sedang stres atau tertekan biasanya terlihat murung, mudah marah (galak), perubahan tingkah laku, tidak nafsu makan, menggonggong berlebihan (untuk anjing) dan semakin cerewet, muntah atau diare, semakin agresif baik terhadap manusia maupun hewan lainnya dan buang air sembarangan.
Jika kamu punya hewan peliharaan di rumah, jangan biarkan ia kesepian ya. Meski mereka hanya hewan, mereka juga butuh kasih sayang dan perhatian cukup dari kita. Semakin baik perlakuan kita terhadap hewan di sekitar kita, semakin baik pula perlakuan mereka pada kita. Jangan biarkan hewan peliharaan kesayangan kamu sampai tertekan atau depresi ya?
Sumber:
Jawaban Jericho Siahaya di Quora
Fimela
Berbicara soal hewan peliharaan, penelitian terbaru mengungkapkan bahwa beberapa hewan peliharaan akan rentan mengalami depresi dan perasaan tertekan. Sama halnya dengan manusia, hewan juga bisa mengalami stres
Pada dasarnya, depresi pada manusia bisa terdiagnosis secara subjektif. Gejala umum dari diagnosisnya bisa berupa perasaan bersalah, tidak bahagia hingga berpikir untuk mati (bunuh diri).
Banyak saintis yang percaya bahwa hewan juga dapat mengalami depresi, tetapi karena hewan tidak bisa berkomunikasi seperti layaknya manusia, maka seringkali agak sulit untuk mendiagnosis depresi yang mereka sedang alami. Sebagai gantinya, para saintis melakukan pengamatan yang mendalam mengenai perilaku serta suasana hati dari si hewan tersebut.
Salah satu gejala utama depresi adalah anhedonia yang merupakan suatu kondisi di mana mahkluk hidup mengalami kehilangan minat terhadap kegiatan yang dahulu disukai/menyenangkan baginya dan terjadi penurunan kemampuan untuk merasakan kesenangan. Para saintis biasanya mencari anhedonia pada hewan untuk menemukan pola depresi dengan mengukur tingkat ketertarikan pada makanan yang mereka sukai, dorongan seks, perubahan pola tidur hingga tingkat sosialisasi hewan tersebut dengan sekitarnya.
Oliver Berton seorang asisten profesor ilmu saraf di Universitas Pennsylvania, mengulas studi mengenai tikus, primata dan ikan yang mengalami penurunan ketertarikan untuk hidup. Studinya pada tikus mengindikasikan bahwa tikus yang dikeluarkan dari kelompok sosialnya atau dipaksa hidup dengan hewan yang lebih besar dari si tikus, maka si tikus tersebut akan cenderung mengalami depresi. Mengapa? Karena habit dari tikus itu sendiri adalah suka bergerak ke sana dan kemari secara bebas tikus yang mengalami depresi sudah tidak peduli dengan hal tersebut.
Depresi pada hewan juga didukung oleh sebuah fakta bahwa anjing binatang peliharaan paling populer di dunia dan manusia sebenarnya memiliki struktur otak yang sama, yang secara sains mengindikasi bahwa tidak ada alasan untuk percaya bahwa anjing tidak dapat mengalami depresi.
Manusia yang mengalami depresi sering diberi obat antidepressant. Pada tahun 1981, seorang dokter hewan muda bernama Nicholas Dodman melakukan hal sama pada seekor hewan yang mengalami gejala-gejala kecenderungan depresi, dan hasilnya obat tersebut memberi efek bagi perkembangan suasana hati hewan tersebut.
Perlahan-lahan, para dokter hewan pun mulai sadar, dan pabrik-pabrik obat pun akhirnya banyak memproduksi obat antidepressant yang dibuat khusus untuk anjing.
Walaupun banyak dokter hewan yang sudah mengklaim bahwa hewan juga bisa mengalami depresi, tapi para saintis lebih memilih untuk belum terlalu percaya dengan klaim tersebut sebelum dilakukan studi ekstensif lanjutan.
Tanda-tanda depresi pada hewan
Penelitian ini mengungkapkan jika hewan yang sedang stres atau tertekan biasanya terlihat murung, mudah marah (galak), perubahan tingkah laku, tidak nafsu makan, menggonggong berlebihan (untuk anjing) dan semakin cerewet, muntah atau diare, semakin agresif baik terhadap manusia maupun hewan lainnya dan buang air sembarangan.
Jika kamu punya hewan peliharaan di rumah, jangan biarkan ia kesepian ya. Meski mereka hanya hewan, mereka juga butuh kasih sayang dan perhatian cukup dari kita. Semakin baik perlakuan kita terhadap hewan di sekitar kita, semakin baik pula perlakuan mereka pada kita. Jangan biarkan hewan peliharaan kesayangan kamu sampai tertekan atau depresi ya?
Sumber:
Jawaban Jericho Siahaya di Quora
Fimela
Posting Komentar untuk "Depresi pada Hewan dan Tanda-Tandanya"