Ditemukan Lebah Terbesar di Dunia di Maluku
Lebah raksasa Wallace (Megachile pluto) terakhir kali terlihat hidup di sebuah pulau di Indonesia pada 1981. Menurut laporan, serangga yang ukurannya jauh lebih besar dibanding lebah madu Eropa itu tak pernah menampakkan diri lagi, tapi sekarang sekelompok tim ilmuwan telah menemukannya di Maluku Utara. Lebah Wallace berukuran sangat besar.
Panjang tubuhnya bisa mencapai empat sentimeter, sementara lidahnya bisa sepanjang tiga sentimeter. Namun, hampir 40 tahun berlalu tak ada lagi yang mendengar atau pun melihat jejaknya di alam liar. Sebab itu, menemukan jejak kehidupan lebah raksasa Wallace adalah sesuatu yang sangat dinanti dan menjadi tantangan sendiri bagi para ilmuwan juga pecinta serangga.
Menurut pengamatan mereka, lebah Wallace tak hanya memiliki ukuran tubuh yang besar. Spesies ini ternyata juga memiliki mandibula atau rahang bawah seperti yang dimiliki kumbang rusa. Selain itu, dia juga memiliki mulut dan labrum yang besar.
Labrum adalah sabuk tulang rawan berbentuk melingkar yang melingkupi bola dan soket sendi seperti pinggul dan bahu. Fungsinya adalah untuk meningkatkan kongruensi dan stabilitas sendi. Pada 1981, entomolog Adam Catton Messer menggambarkan menyaksikan lebah raksasa Wallace betina menggunakan rahang bawahnya untuk mengikis resin pohon dan menggunakan labrum serta mandibula untuk menggulung resin menjadi bola besar yang kemudian dibawanya ke sarang.
Bagaimana kisah di balik penemuan lebah yang diberi nama Wallace (Megachile pluto) dengan bentangan sayap sepanjang enam sentimeter tersebut? Lebah jenis ini sebelumnya sudah pernah didokumentasikan. Pertama, oleh Alfred Russel Wallace pada 1859, dan yang kedua pada tahun 1981.
Namun sejak itu, Megachille pluto dianggap sudah punah. Peneliti Dr Simon Robson dari Universitas Sydney dan koleganya Glen Chilton dari Saint Mary's University di Kanada bersama seorang fotografer asal AS dan seorang entomolog kemudian bergabung melakukan perburuan lebah ini.
Tim tersebut menelusuri kawasan hutan tropis di daerah tersebut selama lima hari. Mereka memeriksa banyak sarang rayap untuk mencari tanda-tanda adanya lebah dimaksud. Lebah betina tersebut menemukan jalannya ke sarang rayap untuk bertelur, meninggalkan lubang yang cukup besar. "Kami saat itu masih di hutan dan sudah agak sore, baru saja mau makan siang dan salah satu dari kami melihat gundukan rayap," ujar Dr Robson.
Salah satu dari tim itu memanjat pohon tempat sarang rayap berada. Setelah menyalakan obor, mereka pun bisa melihat adanya lebah di dalam sarang rayap tersebut. Dengan menggunakan tabung plastik mereka pun menangkap lebah ini untuk didokumentasikan sebelum akhirnya dilepas kembali.
Dijelaskan, lebah ini mengumpulkan nektar untuk anak-anaknya, namun sama sekali tidak menghasilkan madu. Berbeda dengan lebah Eropa, lebah ini pun tak mati setelah menyengat. Lebah ini, kata dr Robson, bisa menyengat kita berkali-kali dan hal itu tidak akan membunuh kita.
Dr Robson menjelaskan timnya berharap keberadaan lebah ini di Kepulauan Maluku dapat menjadi unggulan bagi pelestarian lingkungan dan ekowisata di wilayah tersebut.
Sumber: kompas
Panjang tubuhnya bisa mencapai empat sentimeter, sementara lidahnya bisa sepanjang tiga sentimeter. Namun, hampir 40 tahun berlalu tak ada lagi yang mendengar atau pun melihat jejaknya di alam liar. Sebab itu, menemukan jejak kehidupan lebah raksasa Wallace adalah sesuatu yang sangat dinanti dan menjadi tantangan sendiri bagi para ilmuwan juga pecinta serangga.
Menurut pengamatan mereka, lebah Wallace tak hanya memiliki ukuran tubuh yang besar. Spesies ini ternyata juga memiliki mandibula atau rahang bawah seperti yang dimiliki kumbang rusa. Selain itu, dia juga memiliki mulut dan labrum yang besar.
Labrum adalah sabuk tulang rawan berbentuk melingkar yang melingkupi bola dan soket sendi seperti pinggul dan bahu. Fungsinya adalah untuk meningkatkan kongruensi dan stabilitas sendi. Pada 1981, entomolog Adam Catton Messer menggambarkan menyaksikan lebah raksasa Wallace betina menggunakan rahang bawahnya untuk mengikis resin pohon dan menggunakan labrum serta mandibula untuk menggulung resin menjadi bola besar yang kemudian dibawanya ke sarang.
Namun sejak itu, Megachille pluto dianggap sudah punah. Peneliti Dr Simon Robson dari Universitas Sydney dan koleganya Glen Chilton dari Saint Mary's University di Kanada bersama seorang fotografer asal AS dan seorang entomolog kemudian bergabung melakukan perburuan lebah ini.
Tim tersebut menelusuri kawasan hutan tropis di daerah tersebut selama lima hari. Mereka memeriksa banyak sarang rayap untuk mencari tanda-tanda adanya lebah dimaksud. Lebah betina tersebut menemukan jalannya ke sarang rayap untuk bertelur, meninggalkan lubang yang cukup besar. "Kami saat itu masih di hutan dan sudah agak sore, baru saja mau makan siang dan salah satu dari kami melihat gundukan rayap," ujar Dr Robson.
Salah satu dari tim itu memanjat pohon tempat sarang rayap berada. Setelah menyalakan obor, mereka pun bisa melihat adanya lebah di dalam sarang rayap tersebut. Dengan menggunakan tabung plastik mereka pun menangkap lebah ini untuk didokumentasikan sebelum akhirnya dilepas kembali.
Dijelaskan, lebah ini mengumpulkan nektar untuk anak-anaknya, namun sama sekali tidak menghasilkan madu. Berbeda dengan lebah Eropa, lebah ini pun tak mati setelah menyengat. Lebah ini, kata dr Robson, bisa menyengat kita berkali-kali dan hal itu tidak akan membunuh kita.
Dr Robson menjelaskan timnya berharap keberadaan lebah ini di Kepulauan Maluku dapat menjadi unggulan bagi pelestarian lingkungan dan ekowisata di wilayah tersebut.
Sumber: kompas
Posting Komentar untuk "Ditemukan Lebah Terbesar di Dunia di Maluku"